Kendari / 09 Februari 2025 - LBH PK SULTRA mengecam keras tindakan yang terjadi pada salah satu ruang sidang di Pengadilan Jakarta Utara pada saat itu dilakukan oleh oknum advokat yang dimana merupakan tindakan yang tidak patut dan tergolong sebagai pelanggaran serius terhadap kewibawaan, martabat, dan kehormatan pengadilan atau dikenal sebagai Contempt of Court. Padahal, kewajiban menjaga kewibawaan pengadilan telah diatur dengan jelas dalam Pasal 217 dan 503 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


Dunia peradilan Indonesia dihebohkan dengan berita terkait kericuhan yang terjadi di ruang persidangan Jakarta Utara, antara Razman Nasution yang merupakan Terdakwa dan kuasa hukumnya dengan Advokat Hotman Paris Hutapea sebagai Pelapor. Kericuhan tersebut semakin memanas ketika salah satu dari kuasa hukum Razman Nasution naik ke atas meja persidangan. “Sungguh suatu hal yang memilukan,” ungkap Hotman Paris dalam media sosial yang ia unggah pada hari yang sama.


Singkat cerita, terhadap agenda sidang perkara tersebut, Ketua Majelis Hakim memutuskan agar agenda sidang pemeriksaan saksi pelapor hari itu akan dilakukan secara tertutup dikarenakan mengandung muatan asusila.


Akan tetapi Terdakwa Razman Nasution tidak menerima keputusan Majelis Hakim dan bahkan mengkonfrontasi keputusan Majelis Hakim tersebut dengan cara yang kurang hormat agar sidang dilakukan secara Terbuka.


Ketua Majelis Hakim telah berusaha menghentikan, tapi Terdakwa Razman Nasution terus menerus meminta secara paksa hingga terjadi kericuhan yang dikarenakan hal tersebut Majelis Hakim terpaksa menunda agenda pemeriksaan saksi tersebut, kemudian Majelis Hakim meninggalkan ruang sidang.


Kemudian, setelah itu Terdakwa Razman justru menghampiri Hotman Paris Hutapea yang sementara sedang duduk di bangku pemeriksaan persidangan dan ditunjuk-tunjuk sambil dipegang bahunya oleh Terdakwa Razman Nasution.


Bertalian dengan hal tersebut diatas menjadi puncak kericuhan mengingat tindakan tersebut sangat prokatif dan berpotensi menimbulkan kekerasan, baik fisik maupun verbal, kemudian yang parahnya ada anggota dari tim penasehat hukum Terdakwa Razman yang naik ke atas meja di ruang persidangan dan masih memakai pakaian toga advokat secara lengkap.


Tindakan tersebut mendapatkan kecaman dari berbagai pihak, baik dari para hakim (Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) ), masyarakat umum, serta advokat-advokat yang di Indonesia. 


Bahwa apakah perbuatan dari Razman di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dapat dipidana? Apakah perbuatan tersebut merupakan contempt of court? Pasal 217 KUHP menyatakan bahwa siapa saja yang menimbulkan kegaduhan di pengadilan dapat dikenakan pidana penjara paling lama tiga minggu dan denda maksimal Rp1.800,00. Menurut R Soesilo, kegaduhan tersebut haruslah dilakukan di dalam ruang persidangan baik yang tertutup maupun terbuka untuk umum. Jika kita lihat perbuatan Razman yang menimbulkan kegaduhan tersebut terjadi di dalam persidangan dan di saat sidang sedang berlangsung, tentulah dapat kiranya digunakan pasal ini untuk diproses dalam perkara selanjutnya.


Akan tetapi, perlu diingat bahwa ancaman hukuman untuk tindak pidana ini cukup ringan dan hukum acara pemeriksaannya pun cukup dengan hukum acara singkat saja. Ancaman hukuman ini mungkin ringan bagi masyarakat, tetapi bagi penegak hukum dan advokat ini merupakan suatu perbuatan yang tercela yang dapat meruntuhkan wibawa pengadilan dan advokat yang konon katanya merupakan profesi yang mulia (officium nobile). Selain dapat diancam dengan hukuman pidana, tentunya membawa kasus ini ke Dewan Etik Advokat dikarenakan perbuatan tersebut tergolong sangat penting dan harus segera dilakukan agar profesi yang mulia ini terjaga kemuliaannya.


Berdasarkan kejadian yang telah terjadi sebagaimana uraian tersebut diatas, LBH PK SULTRA mengecam keras tindakan Terdakwa Razman dan tindakan oknum advokat yang menaiki meja persidangan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, kemudian terhadap keanggotan dan berita acara sumpah advokat nya perlu di cabut dikarenakan telah mencederai marwah persidangan.